SEMULA saya berpikir DI’s Way yang diperkenalkan Dahlan Iskan itu adalah bisnis sejenis aplikasi jaringan internasional yang dikelola kaum milenial Tanah Air. Ternyata itu akronem dari nama-nya sendiri. Sayangnya kata ‘way’ di belakangnya tidak dijelaskan, tetapi pastinya diambil dari Bahasa Inggris ‘way’ yang bisa berarti ‘cara pandang’. Boleh jadi DI’s Way maknanya ruang atau lebih pasnya kolom pemikiran DI dituangkan secara jurnalistik, karena DI’s Way dirancang sebagai bisnis media massa.
Menarik pastinya, bahkan sangat, tulisan DI yang dishare pada 2 Juli 2020. Tentang ‘cara pandang’ nya mencintai profesi yang mendudukan namanya sebagai salah satu penggerak jurnalistik skala nasional bahkan internasional.
Raga boleh terkurung selama pandemi corona tetapi tidak untuk gagasan, way! Begitu satu alinea pendek dari tulisan itu.
Ceritanya, lokdon tiga bulan wabah ini bisa memperburuk kondisi kesehatan dan fisiknya pasca-tidak lagi di jawa pos dan jppn. Maka DI terus mengembarakan keliaran cinta dan loyal terhadap profesinya selama ini. Hasilnya ya itu , akan meluncurkan media baru bernama Harian DI’s Way per Sabtu 4 Juli 2020.
Sebagai harian, apakah DI’s Way dalam bentuk fisik cetak ataukah berbasis web? Juga tidak dirincinya. Tapi menengok persiapan di tulisan dua hari menjelang peluncurannya, sangat mendekati media itu berbasis web seperti kebanyakan media dalam jaringan (daring) atau online yang sangat membludak sekarang ini.
Dua hari menjelang terbit perdana sebuah media, pastilah ini hari hari deadline yang menegangkan. Walaupun DI mengantongi pengalaman beberapa kali menerbitkan koran daerah, termasuk di Balikpapan, sebelum akhirnya ikut membidani Jawa Pos, tetap saja hari harinya menjadi kerja dan pikir keras.
Apalagi, ujarnya, hingga dua hari menjelang lounching, fasilitas kertas, mesin dan wartawan belum lah ada. Kalau bahan baku cetak saja belum siap, tentu yang akan lahir bukanlah harian fisik tetapi boleh jadi media daring.
Ada isyarat kuat, DI’s Way akan hadir dalam bentuk digital namun dengan fasyen wajah majalah. Itu terkihat dari postingan mendampingi tulisan tadi. Dan, sepertinya untuk edisi perdana sudah siap diunduh pembaca pada akhir pekan pertama Juli 2020. Dengan catatan bagi yang sudah berlangganan. Harga perbulannya
Rp 100 ribu. Nominal yang tidak sederhana untuk ukuran harian apalagi membacanya melalui screen. Artinya tidak memerlukan budget untuk beli kertas, unit pengeluaran dana signifikan sebuah media cetak.
Bandingkan saja dengan harian Banjarmasin Post yang termasuk terbesar di Kalimantan rp 80 ribu untuk pelanggannya. Plus realtime nya bisa diakses siapa saja tanpa berbayar .
Lain hal, bila DI’s Way terbit secara fisik tiap hari dengan ‘busana’ majalah plus pake kertas kualitas ap berwarna. 30 terbitan dalam sebulan, maka harga Rp 100 ribu jadi sangat seksi. Itupun katanya sudah diskon. Harian Kompas saja ecerannya Rp 4.500,-
Yang menarik berikutnya dari bakal ‘bayi’ korannya Dahlan Iskan itu adalah nama. Seolah hendak out of the box dari peta persurat-kabaran di Tanah Air yang cenderung menggunakan unsur geografis sebagai branding produk. Pak Dahlan dengan ‘pede’ mengusung nama diri: Dahlan Iskan alias DI. Biasanya yang seperti ini hanya untuk rubrik kecil, personal.
Bila pada Sabtu 2 Juli ini, DI’s Way tampil dengan fisik cetak, maka itu menjadi ‘pede’ selanjutnya Pak Dahlan dari sekadar menjadikan nama owner sebagai brand nya. Mengingat geliat bisnis media cetak mengalami kelesuan serius, jauh sebelum pendemi copid 19. Sejumlah nama media di dunia mengakhiri edisi nya. Tidak sedikit yang mengefesienkan jumlah halaman. Di Kalimantan Selatan dengan Banjarmasin Post Group sebagai konglomerasi medianya, tak luput dari soal itu. Media berjaringan data nasional tempat saya pernah berkarir itu juga membonsai jenis media yang semula ada tiga selama belasan tahun, tinggal satu harian cikal bakalnya yaitu Banjarmasin Post yang otomatis tanpa grup lagi. Menyusul berakhirnya edisi Harian Metro Banjar pada 2019 setelah 20 tahun terbit.
Kehadiran media sosial yang jemput pembaca saat melek mata pertama, dengan konsep audio visual, disebut faktor dominan penyebabnya. Slogan ‘semua ada disini’ yang pernah diusung Metro Banjar, kini menjadi milik benda bernama gadget.
Itu yang menjadi kagum saya bermunculan terhadap DI. Di usianya yang 70 tahun, dia berani meluncurkan ‘way’ nya di tengah terdesaknya bisnis media cetak plus musim pandemi virus yang sudah menelantarkan perekonomian dunia. Apalagi, di bisnis baru itu, dia hanya memiliki dua persen saham. Sisanya diklaimnya milik karyawan.
Sesungguhnya apa yang hendak dikejar DI pribadi? Secara, untuk popularitas sudah menasional. Materi? Angka dua persen tentu saja tidak dominan di sebuah perusahaan. Atau mungkinkah DI’s Way menjadi forum media baru bagi Dahlan untuk tetap mempertahankan eksistensi dirinya di dunia pucuk pimpinan redaksi Tanah Air? Setelah tidak lagi di grup Jawa Pos?
Menjaga eksistensi kejurnalistikan memang dianut banyak kalangan jurnalis. Ketika dia keluar dari media tempatnya bekerja dengan alasan apapun, misalnya, cepat diikuti dengan berkarya di media lainnya. Bisa dengan membuat yang baru atau bergabung dengan lainnya. Besar kecil ‘dapur’ baru tergantung latarbelakang kebesaran nama dan aset yang dimiliki sang wartawan.
Era reformasi lalu, beberapa rekan saya yang keluar dari medianya bekerja langsung menerbitkan media baru berbentuk tabloid. Termasuk Tabloid Aktual tempat saya bersandar sekarang. Itu karena sebelum reformasi untuk membuat koran harus ada izin dari Kementrian Penerangan melalui SIUP atau surat izin usaha penerbitan. Untuk dapat ini benar benar perlu perjuangan luaar biasa. Perlu dana ratusan juta kala itu, plus kekuatan lobi atau ‘orang pusat’. Makanya SIUP diplesetkan menjadi kata siup yang berarti semaput alias pingsan saking beratnya perjuangan. Tak heran sebuah harian, misalnya, bisa diperjualbelikan dengan nilai ekonomis tinggi.
Kini, di era digital, SIUP tak berlaku. Sebuah portal berita mudah dan murah meriah. Desain web bisa dipesan dengan harga hanya beberapa juta, lalu untuk memperpanjang usia portal cukup bayar sewa domain kisaran sejuta lebih sekian tiap tahunnya. Makanya, banyak alumni sebuah media besar begitu resign atau apapun, banyak yang membuat portal.
Itu juga kah latar DI’s Way-nya Pak Dahlan? Sambil menunggu wujud fisik di edisi perdananya, inilah penjelasan Pak Dahlan tetang misi koran barunya:
‘Saya akan lebih bahagia kalau bisa melihat dunia jurnalistik bisa terhindar dari proses penuaan –apalagi kematian’.
Begitu?! Uumsri
Discussion about this post