BANJARMASIN aktualkalsel.com–“Numpang lewat lah…”, tulis satu teman di grup wa. Disertai foto semangkuk mi ayam di banner duduk ber-caption: Pesta Kuliner Banua Rp78,- di Siring 0 Km Banjarmasin.
“Murce banget, pasti diserbu,” komentar anggota grup. Satu porsi mi tidak sampai Rp100,- harganya. Nyaris gratis ini namanya.
Itu tayangan wa pada Minggu 20 Agustus 2023 pagi. Saya ‘terprovokasi’ dan merapat kesana bersama kawan. Bukan di siring, tepatnya di halaman Kantor Gubernur yang terpisah jalan dengan titik 0 Km itu. Ada gapura pintu masuk yang dijaga beberapa anak muda milenial, plus dua papan tempelan barcod ukuran lumayan besar.
“Bayar masuknya bu Rp78 per orang,” sapa gadis berjilbab, satu dari rombongan milenial tadi.
Belum selesai saya memikirkan nominal Rp78,- yang harus dibayar dengan pecahan rupiah berapa, gadis tadi menambahkan: “Bayarnya pake Qris, tidak dengan uang, silakan foto barcod-nya,”.
Barcod juga qris saya tau itu item dari e-money, sistem transaksi tanpa uang tunai, cashless. Tetapi belum pernah melakoninya langsung. Apalagi sekadar untuk masuk area semacam bazar kuliner ini, yang jumlah stan-nya tergolong tidak banyak untuk ditampung di halaman kantor orang no 1 di Kalsel. Apa iya harus pake qris?
“Kami ga punya e-banking, bayar tunai ga boleh, ada solusinya? biar bisa kulineran di dalam,” tanya saya yang mulai menyadari gaptek betul.
Dia melongo, mengeluarkan hp, memofo barcod, lalu katanya:”Sudah bu, saya bantu pake punya saya, silakan masuk,”.
Artinya dia membayarkan untuk dua orang yang jumlahnya tidak sampai Rp200,-. Di belakang kami ada ibu ibu dengan kondisi gaptek sama. Tapi tidak bisa masuk, kata penjaga itu “limit saya terbatas”.
Di area Pesta Rakyat Banua lengang dengan stan kisaran 20, tetapi suasananya nyaman, banyak meja ala kafe disusun untuk pengunjung menikmati kuliner. Pemandangan pertama yang saya lihat adalah papan tempelan barcod cukup mencolok di setiap depan stan. Nah!
Oh iya, saya dan teman generasi lahir tahun 60-an awal. Harus digarisbawahi karena tahun kelahiran inilah yang ‘andil’ kenapa kami merasa agak gugup ketika melihat lambang barcod putih-hitam ada dimana mana, di bazar ini. Dungu rasanya. Terlebih setiap stan yang disinggahi menolak rupiah.
Awalnya, kami memutuskan ingin jadi penonton saja, duduk duduk, mengingat kuliner yang ada didominasi selera milineal seperti burger cs serta milkshake dan turunannya. Tetapi ketika lewat di stan yang menjual aneka kuliner Banjar seperti lontong, nasi kuning, pundut, lakatan bainti, gacicak and the gank, panggilan lapar unjuk rasa.
“Kalau e-banking tidak punya, qris percuma kan, rupiah tidak laku, adakah solusi lain,” saya bertanya pada pengelola stan, dia anak muda sepertinya mendampingi si pemilik yang seusia lansia.
“Cuma Qris,” anak muda itu menjawab. Klo si lansia itu jelas tidak mengerti juga sistem pembayaran orang ysng ingin membeli dagangannya.
Saya mencoba mencari para milenial yang bisa diajak barter: qris dia saya bayar dengan rupiah tunai. Ternyata tidak mudah juga selain tidak semua mereka yang punya e-banking familiar dengan sistem cashless ini sehingga tampak ribet, juga rata rata mereka menggunakan untuk berburu QrisRp78 yang tempo nya hanya satu jam. Mereka pindah dari satu stan ke yang lain, karena satu qris berlaku satu kali transaksi. Untuk pembelian senilai Rp25 ribu, cukup dibayar e-banking Rp78,-
Karena sudah tergoda dengan stan yang menjual kuliner khas Banjar tadi, saya telpon anak di rumah. Saya ceritakan tengah berada di zona bazar dimana uang rupiah di dompet tidak laku. Semuanya pake barcod, pake qris. Anak saya tertawa. Dia minta saya foto barcod lalu kirim ke hp nya.
“Nanti nembaknya dari rumah,” ujarnya.
Hahh! Nembak?!
Dalam hitungan tak sampai satu menit, anak saya mengirim capture pemotongan e-banking Rp78,-
“Mama tunjukan capture ini, inshaa Alloh transaksi oke,”.
Benar, untuk makanan yang kami pesan cukup bayarRp78,- by qris. Eitt, tunggu tunggu, ada kendala gaptek lagi. Ini lebih rumit, ternyata total belanjaan lewat Rp25 ribu, jadi harus membayar kelebihannya tadi. Dan, lagi lagi tak mau dibayar pake rupiah. Kali ini saya merasa gaptek tak bisa diajak kompromi. Saya langsung meletakan rupiah untuk membayar kelebihan tadi, lalu pergi. Sambil berlalu saya mendengar ada petugas dari perbank-an yang mengelola bazar ini mengingatkan pemilik stan untuk tidak menerima rupiah. Perduli apa, yang penting saya tidak meninggalkan hutang.
Sebagai seorang jurnalis walau produk era manual, sesungguhnya istilah barcod, qris maupun e-money sudah tidak asing. Tetapi, dalam praktik penggunaannya masih tak familiar. Selalu terselamatkan dengan situasi alternatif cash. Apalagi untuk membeli di satu bazar tergolong (maaf) receh, di Banjarmasin ini, tidak terpikir bakal berada dalam sistem cashless ini.
Entah-lah masih berapa banyak generasi seusia saya yang bakal berada di zona zona cashless ini di hari hari ke depan. Apakah mereka juga akan merasakan tidak hanya sekadar ribet, tetapi dungu!(umi sriwahyuni-aktualkalsel.com)
Discussion about this post