NENENG, sebut saja demikian, ibu muda berkulit putih bersih dengan dandanan sederhana namun tampak keren.
Jumat siang bertepatan dengan Hari Ibu, dia duduk tenang di sebuah warung pancarekenan di sebuah pasar tradisional Banjarmasin.
Dia menjadi perhatian bahkan ‘nara sumber’ oleh pembeli lainnya yang kebanyakan ibu-ibu perihal dimana dia mendapatkan lembaran uang Rp 50 ribu yang ternyata palsu.
Siang itu Neneng mengeluarkan uang Rp 50 ribu untuk membayar pembelian yang nilainya kurang dari itu.
Namun uang ditolak pemilik warung yang nencurigai uang Neneng itu palsu. Mendengar ucapan ‘uang palsu’ pembeli pun terperanjat, kaget.
Tapi tidak denfan Neneng. Ekspresi wajah perempuan itu datar saja, padahal uangnya ditolak yang berarti tidak laku, sama halnya dia rugi atau kehilangan uang yang bagi ibu2 di pasar jumlahnya besar.
Dengan tenang dilipatnya dua kali uang tadi lalu dimasukannya dalam dompet hitam seukuran separo kertas folio.
Dompet tak langsung ditutup, sebaliknya dibukanya lebar sembari menunjukkan pada pembeli lain isinya.
“Nii saya pisahkan dari duit lain agar gak keambil lagi untuk belanja,” ujarnya.
Karena dibuka, maka tampaklah ada uang lembaran 50 ribu yang lain yg tidak dilipat. Ketika seorang pembeli menanyakan dari mana didapat uang yang diduga palsu tadi Neneng tidak segera merespons. Mungkin bingung .
“Saya berjualan nasi kuning di kampung, ini uang dari pembeli,” ujarnya kemudian.
Sejak awal uangnya ditolak pedagang, Neneng tidak menunjukkan rasa terkejut atau mencoba memastikan apakah uangnya benar benar palsu. Dia seolah sudah siap dengan dengan kenyataan.
Bahkan ketika pembeli laiinya ramai ‘mengutuk’ pelaju peredaran uang palsu yang sangat merugikan sasaran, dia juga tak menunjukkan kesedihan sebagai korban.
Sikap Neneng yang santai ini memunculkan praduga, apakah dia benar benar korban peredaran uang palsu yang semakin marak?
Atau pantaskah kita menyimpan praduga lainnya, kalau dia justru berada di barisan unjung tombak pencucian uang palsu?
Modusnya sebagai seorang ibu akan lebih leluasa menggunakannya ketika berbelanja di pasar pasar tradisional dimana pedagangnya banyak tak menggunakan lampu penerawang uang. Pedagangnya pun tak pernah menyangka akan jadi target proses ‘pencucian uang palsu’.
Semoga ini hanya praduga!!
Umi Sri
Discussion about this post