PISANG ini identik dengan tiga nama berbeda di kalangan kunsumennya. Di asal daerah tanamnya , Kalsel, disebut pisang manurun atau pisang pulaulaut. Secara nasional dikenal dengan pisang kepok.
Pada tahun 90-an menjadi primadona ‘ekspor’ atau pengiriman buah Kalsel ke Pulau Jawa. Nyaris setiap sore, puluhan truk penuh pisang kepok, dikapalkan. Diangkut dari petani2 kawasan Kabupaten Banjar, Tapin serta hulu sungai.
Sementara di pasaran lokal pasokannya terpenuhi sepanjang tahun dengan kualitas buah yang memuaskan konsumen.
Sayangnya, dalam kurun sewindu terakhir dan puncaknya dua tiga tahun belakangan ini, pisang andalan Banua bergeser peranannya dipasaran lokal, apalagi antarpulau.
Sebagai produk, ketersediannya menjadi limited-edition. Masuk kategori menuju langka.
“Iya, pisang manurun lokal sekarang terbatas pasokannya,” ujar seorang pedagang pisang partaian di Banjarmasin.
Kalau toh banyak tersedia di pasaran, ujarnya, sebagian besar kiriman dari luar provinsi seperti Kalbar, Kaltim bahkan dari Sulawesi.
“Pisang kepok dari luar ini datangnya rutin sehingga menguasai pasar. Yang panenan Banua kita sangat tidak mencukupi,” ujar pedagang yang setiap hari melayani pembeli di pasar tradisional, Pasar Lama Banjarmasin.
Konsekwensinya, harga pun jadi naik tajam. Kalau dalam dua tiga tahun sebelumnya harga perkilo pisang jenis ini rp 6 -rp 7 ribu an untuk kualitas baik kini menjadi rp 10 ribu sampai rp 12 ribu untuk kualitas sama.
Meningkatnya harga pisang jenis ini berdampak terhadap bisnis gorengan yang biasa digelar di pinggir jalan. Selain ukurannya menjadi nengecil signifikan juga ketersediaannya di warung-warung menjadi berkurang.
“Pisang goreng ini sebagai syarat saja. Paling satu ikat seharinya, yang banyak itu gorengan tempe, tahu atau singkong,” ujar acil , pedagang gorengan di pinggiran kawasan A Yani, Banjarmasin. Uumsri
Discussion about this post