SAYA lupa kapan terakhir naik taksi pal 6-Martapura yang di era 80 an hingga awal 90 an sempat jadi ,trayek seksi’ karena ramainya penumpang.
Baru Oktober 2017 ini mendapat dua kesempatan menjadi penumpangnya. Armadanya tetap: jenis colt dengan warna khas : oren.
“Kalau bisa jangan pagi yang berangkatnya di awal”, pesan seorang teman.
“Bisa berbarengan dengan rombongan ‘famili jalanan’ khawatirnya kamu mabok”, teman tadi memberi alasannya.
Tapi takdir rupanya, dua kali berangkat di rute itu saya bersamaan dengan mereka , yang naik di luar terminal pal 6. Tidak tanggung tanggung jumlanya enam orang! Satu pria baya. Dua ibu muda, tiga bocah dan satu balita sekira berusia satu tahun.
Ketika supir berhenti menghampiri, perempuan yang duduk di samping saya, kursi belakang supir, sudah menarik nafas panjang.
Begitu rombongan naik dengan berjejal, perempuan tadi langsung menutup mulut dan hidung dengan juntaian jilbabnya.
Aroma (maaf) luar biasa aneh pun segera memenuhi ruang taksi. Menyebar dari rombongan yang dimaksud teman saya sebagai ‘famili jalanan’.
Tidak cukup dengan nenutup mulut dan hidung, perempuan tadi mengeluarkan botol jenis minyak kayu putih. Saya pun ikutan mengeluarkan vics balsem.
Toh tak manpu menghalangi bau aneh tadi menyengat hidung. Baru beberapa kilometer taksi jalan perempuan tadi minta berhenti lalu pindah ke kursi depan, sepanjang jalan wajahnya dihadapkan ke luar jendela tanpa kaca, biar kena angin terus.
Otomatis saya yang berdampingan dengan ibu muda rombongan ‘famili jalanan’ tadi.
Sambil menghisap vics balsem saya amati dia. Masih belia, rambut direbonding tapi jauh dari bersih. Salah satu sumber aroma aneh tadi. Mengenakan daster yang terbuka di sana sini karena sobek dan lain lain. Wajahnya tanpa beban. Enjoy.
Tetapi bukan itu yang membuat rasa miris ini terkuras, ini tentang kondisi bayi yang diasuhnya.
Dari awal naik sudah cerewet tak kepalang, yang ditimpali si ibu dengan menarahi sambil memukul mukul kaki, lengan dan pantat si bayi. Semakin dipukul semakin nangis dia.
Dua tangannya yang mungil menggenggam botol susu yang sejak masuk terlihat kosong. Boleh jadi ini trik sang ibu agar bayinya diam dijejali botol tanpa isi.
Dan, ini juga boleh jadi, si bayi sudah pup di celana sejak sebelum naik colt sehingga merasa gerah lalu rewel.
Lengkap sudah aroma aneh itu sebab dari sejumlah kondisi yang tidak bersih.
Puncaknya, si anak rupanya tak bisa lagi nahan gerah dia memanjat sandaran kursi depan dan terjadilah ini: (maaf) pup nya tembus pampers dan jatuh.
Sang ibu cepat membersihkan menggunakan kertas seolah tak hendak penumpang laen semakin sewot, lalu seenaknya melempar ke luar jendela.
“Semoga gak ada pengendara yang tertimpa kertas itu,” saya berdoa.
Sungguh, bukan tentang bau eneh atau pup si bayi yang tercecer tadi, membuat saya gelisah sepanjang trayek pal 6 – Martapura itu, kali ini tentang iblis apa yang menggenggam pikiran si ibu hingga ngotot ‘mengkaryakan’ bayinya sebagai alat peraga memancing iba orang lain agar memberikan rupiahnya.
Bayi yang seharusnya sepanjang hari rebahan di buayan ibu dalam rumah, harus berjemur di terik matahari jalanan yang riuh.
Dan, tentu dia bukan bayi peraga tunggal sebab modus menjual kemiskinan melalui bayi banyak dilakukan pengemis, dan itu sudah berlangsung lama.
Siapa peduli??
Ketua Pusat Perlindungan Terpadu Perempuan dan Anak Kalsel Intan Baiduri, Evy Nurmina menunjuk itu menjadi wilayah tanggung jawab dinas sosial.
Sebuah perangkat kerja pemerintah mulai dari pusat hingga daerah, hadir disana.
Toh tak ada kebijakan dan kerja mereka yang bisa menghentikan eksploitasi bayi-bayi agar tidak digelandang ke jalan-jalan sebagai alat peraga kemiskinan para pengemis.
Lalu sampai kapan?? Entahlah. Umi Sriwahyuni
Discussion about this post