Laporan Wartawan AKTUAL
Lia Artuty Untung Dari Pelembang
RASA lelah dan sedikit ngantuk selama menunggu penerbangan dari Jakarta ke Palembang terobati ketika pesawat Lion Air yang membawa kami mendarat di Bandar Udara Internasional Sultan Mahmud Badaruddin II jelang waktu magrib.
Sebelum berangkat ke Palembang, rombongan Humpro Pemko Banjarmasin dan anggota press room yang dipimpin Asisten III Pemko Banjarmasin Rusmin Ardaliwa transit dulu di Jakarta kemudian melanjutkan perjalanan ke Bumi Sriwijaya.
Kunjungan ke Palembang dalam rangka untuk penambahan wawasan, terutama bagia rekan media dalam hal penataan kota.
Rencananya Jumat ( 13/7/18 ), rombongan akan berkunjung ke Pemko Palembang.
Penerbangan menuju Palembang ternyata mengalami keterlambatan beberapa jam. Tidak sesuai dengan scedule. Kamipun terpaksa bertahan di ruang tungg Bandar Soekarno – Hatta.
Gelisah tentu. Karena aku ingin sekali melihat bagaimana kota Palembang yang kesohor dengan makanan khasnya empek-empek Palembang, jembatan Ampera yang membentang di atas sungai Musi nan indah.
Selama ini, aku hanya mendengar cerita dari ayahku mengenai kota Palembang, dan melihat di internet. Makanya, aku bersyukur kepada Allah bisa menginjakan kaki di kota ini.
Sedikit berbeda dengan seniorku yang ikut rombongan kali ini seperti bang Hasan Zainuddin, Jimmy Huzain, Sunarti — yang dulu pernah bergabung dengan ayahku di Harian Dinamika Berita, yang sekarang berubah nama menjadi Kalimantan Post — mereka lebih dulu menginjakan kaki di Palembang.
Seperti dari beberapa sumber yang kubaca dan kukutif, setiap kota di belahan dunia memiliki keunikan dan sejarah yang berbeda. Bahkan beberapa di antaranya merupakan kota-kota dengan usia yang cukup tua.
Dari beberapa kota tersebut, Palembang merupakan salah satunya. Sebagai eks jajahan kolonial Belanda yang menjajah nusantara selama hampir 350 tahun, banyak peninggalan peradaban besar dan maha karya yang luar biasa.
Baik dari sistem hukum, pendidikan, pertanian, hingga peninggalan bangunan khas Eropa yang bernilai artistik tinggi, kental dengan ornamen indah nan menawan.
Di sepanjang Sungai Musi, banyak sekali warisan berupa saksi-saksi bisu sejarah kehidupan masyarakat kota Palembang di zaman tersebut. Di antaranya adalah gedung-gedung tua ala Eropa yang menghiasi beberapa sudut kota Palembang.
Gedung-gedung tua khas arsitektur Eropa ini menjadi pesona tersendiri di kota Palembang, selain indah dipandang mata, juga memiliki nilai-nilai sejarah.
Palembang pernah menjadi pusat kerajaan Sriwijaya saat puncak kejayaannya. Terhitung sejak abad ke-9 hingga ke-11. Kerajaan Sriwijaya pernah mencapai puncak kejayaannya dengan menguasi seluruh laut sumatra hingga selat Malaka.
Palembang dengan Sriwijaya nya pada waktu itu, selain dengan pusat perdagangan, juga dikenal sebagai pusat pendidikan ilmu agama Budha. Banyak biksu dari Tiongkok, India, dan Jawa yang berkumpul di Sriwijaya untuk mempelajari agama Budha.
Bahkan, seorang biksu Tiongkok yang bernama I Ching pernah menulis bahwa ada lebih dari 1000 biksu Budha yang berada di Palembang. Dia menyarankan kepada semua biarawan asal Tiongkok untuk mempelajari bahasa Sansekerta di Palembang sebelum melanjutkan ke India.
Sebagian besar rakyat Sriwijaya pada waktu itu tinggal di pesisir sungai Musi. Di sungai Musi inilah pusat perdagangan dan armada Sriwijaya. Sungai Musi menjadi tempat transaksi perdagangan emas, rempah-rempah, sutra, kerajinan gading, dan keramik yang berasal dari para pedagang luar negeri seperti Tiongok, India, dan Jawa.
Namun masa keemasan Kerajaan Sriwijaya ini harus berakhir pada tahun 1025 masehi karena mendapat serangan dari Raja Chola dari India Selatan.
Riwayat Sriwijaya semakin terbenam setelah pada abad ke-15, kaisar Tiongkok juga melakukan ekspansi ke Palembang melalui Laksamana Cheng Ho.
Discussion about this post