CUKUP Allah sebagai godfather kita, yang setiap saat siap memberikan pertolongan, perlindungan!
Ucapan indah ini keluar dari mulut Om Didiet, pendiri, bapak sekaligus guru bagi seratus lebih anak jalanan yang sepanjang hari mereka berjibaku di tengah ganasnya kehidupan Terminal Joyoboyo , Surabaya.
Siang itu di penghujung Agustus lalu saya beserta rombongan peserta Temu Nasional Partisipasi Publik untuk Kesejahteraan Perempuan dan Anak (temu Nasional Puspa 2017) mengunjungi rumah singgah yang dikelola Om Didiet.
Kutanyakan padanya apakah perlu sosok godfather untuk bisa mengajak anak-anak bebas ini duduk manis belajar baca tulis, agama dan akhlak.
Apalagi, di awal pertemuan itu Om Didiet yang mantan seorang jurnalis televisi ini mengakui kerap mendapat tekanan dan ancaman dari para preman Joyoboyo lantaran mengajak anak-anak jalanan itu meninggalkan pekerjaanya walau paruh waktu.
Lalu dijawabnya: cukup Alloh sebagai gofather!
Sosok Om Didiet mengingatkan pada figur Pak Tino Sidin –pembawa acara sekaligus totor pada acara menggambar di TVRI akhir tahun 70-an– dengan ciri khas topi ala kabaretnya.
Diawali dengan seringnya meliput tentang kerasnya kehidupan anak jalanan di terminal yang terkenal ‘ganas’ itu, Om Didiet menggagas rumah singgah untuk mereka.
Dengan mengontrak sebuah rumah besar di pengkolan jalan tak jauh dari Terminal Joyoboyo, dia dibantu sang istri merangkalu anak-anak putus sekolah itu untuk belajar di kelas sore.
Awalnya hanya beberapa orang anak yaa perempuan dan laki laki. Itu pun kerap didatangi ayah ayah mereka yang berprofesi sebagai preman terminal.
Om Didiet menghadapi ancaman kekerasan itu dengan sikaf ikhlas dan konsisten. Dengan berjalannya waktu jumlah anak asuh mereka mencapai ratusan.
Bahkan ada yang sudah beranak dan mengajak anak anaknya belajar di rumah singgah.
“Belajar di sini gratis peralatan pun disediakan. SPP nya cuma mandi,” tutur Om Didiet yang kini sudah memasuki usia kepala 7.
Setiap sore, mantan pembawa acara terkenal di TVRI Surabaya ini menunggu anak asuhnya di muara kelas.
“Saya selalu dalam keadaan bersih dan tangan saya harus wangi. Maka bila ada anak yang datang dalam keadaan lecek saya suruh mereka pulang dulu untuk mandi baru kembali jbtuk bersalaman. Begitu cara kami mendidik kebersihan terhadap mereka,” tuturnya.
Dan Alhamdulillah berhasil.
Kini rumah singgah bertajuk Sanggar Alang Alang itu menjadi salah satu ikon kebanggan sang walikota Ibu Risma tentang kesertaan publik membangun warganya.
Walau demikian, 0m Didiet dan istri tak mengandalkan pihak lain untuk membiayai operasional sanggar, khususnya untuk kontrak rumah yang Rp 20 juta pertahun.
“Saya tak pernah khawatir tentang uang kontrak dan Alhamdulillah selalu ada dananya. Kuncinya meminta kepada Pemilik rezeki yaitu Alloh,” ujarnya lagi.
Dan Om Didiet punya kunci kontak khusus dengan Sang Khalik yaitu tak pernah alpa mendirikan Sholat Tahajud. Dalam sujud penghujung malam itu dia meminta.
“Setiap habis Sholat Subuh saya memberi makan burung. Inilah bagian rutinitas saya,” ujar Om Didiet. Umi Sri
Discussion about this post