BANJARMASIN aktualkalsel.com–Sepi nya SD Muhammadyah di Gantong, Bangka Belitung yang difilmkan dalam Layskar Pelangi, belum sehening sebuah sekolah dasar di Bosnia ini: SD Petrovici.
Petrovici diambil dari nama sebuah desa kecil di nagara itu. Berpenduduk hanya belasan kepala keluarga (KK) dari yang 30 tahun tahun sebelumnya jumlah itu puluhan. Perang etnis yang berakhir 1995 menjadikan Desa Petropoci bukan hanya permukiman terpencil dan teramat sulit dijangkau tetapi menyisakan penduduk yang sedikit.
Baru baru ini, Voice of Amerika (VoA) menayangkan kisah seorang ibu hebat bernama Azema yang tak putus berdoa semoga putra tunggalnya Mahir suatu hari pada waktu yang tepat, bisa bersekolah. Pilihannya cuma satu berjarak sekitar 45 menit waktu tempuh dengan lintasan curam berliku.
Ketika Azema berdoa untuk sang putera, statusnya adalah satu satunya ibu disana yang memiliki anak seusia Mahir. Jadi hampir mustahil akan ada dibangun sekolah dasar untuk sang anak. Sebab pertimbangan rasio tidak masuk akal bila satu sekolah hanya diisi seorang murid. Dan, untuk mengajar hingga lulus perlu berapa guru?
Tetapi Azema tak berputus harap dan berdoa. Hingga sampai padanya berita pemerintah membuka kembali sekolah yang sudah puluhan tahun tutup di Desa Petrovici.
Hari itu di musim dingin, Azema menggandenga Mahir menuju sekolah dengan langkah penuh. Betul saja, itu adalah pendaftar pertama dan terakhir sampai beberapa tahun berikutnya. Mahir menjadi satu satunya muird di sekolah itu dengan guru tunggal bernama Samir Copic.
“Saya sempat sedih ketika tahu Mahir satu satunya murid disini. Bagaimana bersekolah tanpa teman,” ujar perempuan ini.
Bukan hanya Azema yang menyimpan rasa demikian, sang pak guru juga demikian. Dia yang biasa mengajar dengan 20 murid, akan seperti apa kelasnya dengan murid tunggal?
“Hari pertama sekolah, aku dan Mahir hanya saling pandang. Seperti kucing dan tikus. Tetapi hari berikut berikutnya kami saling menjadi teman tunggal satu sama lain,” kata pa guru ini.
Dengan satu murid, Samir Copic tetap menciptakan suasana belajar yang hangat. Mereka saling mengulurkan tangan mengawali jam pelajaran. Di ruang kelas yang luas dengan papan tulis lebar membentang, habya ada meja dan kursi Mahir menghadap ke sana. Lalu agak ke kiri, hadir meja sang guru.
Di akhir jam pelajaran, berdua mereka menutup pintu kelas. Mahir akan selalu melangkah lebih dulu meninggalkan sekolah diikuti sang guru, yang rutin mengantarkan murid tunggalnya sampai ke rumah. Sambil melangkah Samir memupuk optimisme nya bahwa pembelajaran ini adalah kuar biasa.(uumsri/foto net)
Discussion about this post