Brazil-Indonesia menjadi tutur cerita para penakluk gunung sedunia. Core-nya Julia dan Gunung Rinjani di Lombok yang puncaknya sedikit lagi akan bisa ditaklukan gadis asal negeri yang terkenal dengan tari Samba itu.
“Rinjani, engkau sungguh indah, esok kita sampai puncak,” tulis Juliana Marins di buku harian yang dibawanya dalam pendakian puncak Rinjani pertengahan Juni 2025.
Namun takdir berkata lain, putri tunggal keluarga Marins itu tak pernah sampai ke titik yang diimpikannya. Beberapa jam jelang rencana timnya yang terdiri dari lima pendaki, satu guide dan satu porter, berselebrasi di bawah naungan langit Rinjani, Juliana mengalami kelelahan dan perlu rehat.
Oleh guide, dia disarankan untuk beristirahat tiga menit, sementara yang lainnya meneruskan tracking.
“Jangan kemana mana, saya akan kembali,” pesan sang guide ke Juliana.
Dalam tiga menit, si guide ditegur firasat, dia segera balik ke titik dimana Juliana diminta istirahat, namun pendaki asal Brazil itu sudah tidak ditemukan lagi. Dia terpeleset ke jurang terjal sisi tracking, petunjuknya adalah ransel yang dikenakannya tersangkut di bebatuan namun tanpa Julia. Rupanya tubuh perempuan itu telah melorot jauh ke bawah dasar jurang, terpisah dengan tas punggungnya.
Terpelesetnya Juliana pun tersebar cepat, khususnya di kalangan pendaki yang sudah mencapai puncak. Namun, berita santer tersebut tak serta merta membuat pertolongan cepat membuahkan hasil. Tim penolong dengan peralatan SOP memerlukan waktu empat hari untuk bisa mengevakuasi jenazah Juliana, karena faktor beratnya medan dan cuaca ekstrem.
Memasuki pekan keempat Juni 2025, jenazah Juliana tiba di kampung halamannya di Brazil. Kedua orangtuanya menerima dengan duka mendalam, ketika sang putri sudah tidak bisa diajak komunikasi lagi, ibunda nya memilih untuk membuka ransel yang menyertai sang putri dalam pendakian ke puncak Rinjani itu.
Ada pakaian, handphone dan Buku harian terbuka di bagian halaman yang terakhir tulisan. Rupanya Julia langsung memasukan buku ke tasnya setelah menulis catatan kecil, tidak sempat menutupnya. Catatan itu sangat menyayat hati, menggambarkan betapa bahagianya Juliana hari itu karena sebentar lagi mereka akan menatap langit Rinjani dari puncaknya.
Sang ibu hanya mampu menatapi tulisan tangan putrinya. Dia teringat terakhir kali mengirimkan pesan suara ke handphone putrinya namun tak kunjung ada balasan. Sangat boleh jadi pesan itu terkirim tatkala sang putri tengah berjuang untuk bertahan hidup, beberapa ratus meter di bawah posisi ranselnya tersangkut.
“Aku tunggu khabar mu sayang,” itu pesan singkat sang ibu yang menyimpan kecemasan tinggi.
Boleh jadi pula, suara itu sesungguhnya sampai, namun yang mendengarnya bukan Julua melainkan deru angin dingin puncak Rinjani dan mencoba memberikan jawaban:”maafkan, dia menjadi milik langit Rinjani sekarang…”
Sang ibu mulai menyadari, jasad putrinya memang sudah kembali tetapi jiwanya tertinggal di Rinjani. Satu hari jauh sebelum pendakian direncanajan, Juliana pernah berujar :… jika suatu hari nanti aku tidak kembali, maka biarkan aku tinggal di gunung”.
Firasat seorang pendaki sejati itu rupanya benar terjadi.(uumsri/berbagai sumber/foto net)




















